Pada liburan akhir tahun ini, saya berkesempatan mengunjungi Gunung Kunci. Sebuah objek wisata alam dan sejarah yang patut Anda lihat bila berkunjung ke Sumedang, Jawa Barat. Meskipun disebut gunung, tempat ini sebenarnya bukanlah gunung melainkan bukit kecil. Di Gunung Kunci terdapat bangunan bersejarah, sebuah benteng pertahanan peninggalan zaman kolonial.
Sudah sejak lama Gunung Kunci dijadikan objek wisata alam yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sejak tahun 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan yang menjadikan kawasan Gunung Kunci seluas 3,67 hektar sebagai Taman Hutan Raya (Tahura) bersama-sama dengan kawasan Gunung Palasari yang luasnya 31,22 hektar. Letak kedua tempat tersebut berdampingan, dipisahkan oleh jalan raya. Setelah ditetapkan sebagai Tahura, pengelolaannya dialihkan dari Perum Perhutani ke Pemerintah Kabupaten Sumedang.
Namun pengalihan secara keseluruhan baru terlaksana pada tahun 2011. Sekadar info saja, di Jawa Barat saat ini terdapat tiga Tahura, yakni Tahura Djuanda di Bandung, Tahura Pancoran Mas di Depok dan Tahura Gunung Kunci dan Gunung Palasari di Sumedang.
Gunung kunci terletak di jalan lintas Bandung-Cirebon. Tempatnya tidak terlalu mencolok, hanya ada pelataran parkir yang tidak begitu besar. Saat saya berkunjung, tidak terdapat baliho atau reklame besar seperti umumnya objek wisata.
Pada gerbang masuk tidak terdapat papan nama yang menunjukkan tempat ini Gunung Kunci. Di atas pintu gerbang hanya tertulis “Wilujeng Sumping”, sapaan bahasa Sunda yang artinya “Selamat Datang”.
Satu-satunya petunjuk yang menyatakan nama tempat adalah sebuah prasasti yang tidak terpasang, tergeletak begitu saja di sisi pos penjagaan tiket masuk. Dalam prasasti itu tertulis “Taman Hutan Raya Inten Dewata, Gunung Kunci dan Gunung Palasari”. Prasasti itu ditandatangani oleh Bupati Sumedang tahun 2006. Entah mengapa tidak dipasang, mungkin sedang dalam renovasi :p
Taman hutan raya Gunung Kunci mematok tiket yang cukup terjangkau, untuk anak Rp. 2000 dan dewasa Rp. 3000. Namun walaupun murah, objek wisata ini sepi pengunjung. Terlihat dari area parkir, hanya ada satu buah mobil dan beberapa sepeda motor. Padahal saya datang saat liburan anak-anak sekolah.
Setelah bertanya-tanya di loket, saya memutuskan untuk langsung menuju objek utama, yakni goa belanda yang terletak di puncak bukit. Untuk sampai di sana pengunjung harus mendaki terlebih dahulu. Terdapat jalan setapak berupa anak tangga yang dikuatkan dengan batuan dan beton. Jalan setapak cukup bersih dan tertata, serta nyaman untuk didaki. Hanya saja tidak ada fasilitas bagi pengguna kursi roda. Bagi keluarga yang membawa kereta dorong bayi jangan harap bisa membawanya sampai ke atas.
Di tengah jalur pendakian, jalan setapak tersebut terbagi. Satu merupakan jalur untuk mengelilingi lereng bukit, satu lagi jalur menuju puncak bukit ke arah sebuah benteng tua yang dibangun oleh pemerintah kolonial.
Saya mengambil jalur menuju benteng. Di ujung pendakian, terdapat mulut goa menyerupai sebuah gerbang. Di bagian atas pintu goa terpampang simbol berupa dua buah kunci menyilang.
Di bagian atas dan bawah simbol terdapat tulisan “Pandjoenan” dan “G. Kuntji” serta titi mangsa “1917”. Tulisan Pandjoenan merujuk pada nama tempat, sedangkan titi mangsa pastilah terkait dengan awal berdirinya goa.
Goa tersebut merupakan pintu utama untuk memasuki kompleks bangunan lainnya. Sayang, suasananya gelap gulita sehingga saya tidak bisa menikmati detail interiornya. Lebih-lebih kondisinya lembab dan basah.
Air hujan dibiarkan begitu saja menggenangi lantai goa. Bercampur dengan lumpur tebal. Alhasil, ketika memasuki goa mau tidak mau kaki saya harus bermandi lumpur.
Beberapa meter dari mulut goa, terdapat anak tangga menanjak yang cukup curam. Untuk sampai ke ujung lain goa, kita harus mendaki anak tangga tersebut. Dalam kondisi gelap gulita, basah dan licin, menurut saya goa ini tidak terlalu aman untuk dimasuki.
Sesampai di ujung goa, terdapat reruntuhan bangunan. Reruntuhan ini sebenarnya bangunan utama goa Gunung Kunci. Terdiri dari ruang-ruang berdinding tebal. Goa utama terletak di puncak, tersembunyi di bawah rimbunnya hutan pinus.
Bangunan utama berbentuk benteng pertahanan, dibuat mengitari puncak bukit. Benteng ini berbentuk lonjong seperti kapal boat. Di dalam benteng masih terdapat lorong-lorong kecil yang menghubungkan satu sisi benteng dengan lainnya. Meskipun sudah hancur di sana-sini goa Gunung Kunci masih terlihat kokoh berdiri.
Selain menikmati goa Gunung Kunci, di tempat ini juga disediakan arena bermain dan bersantai. Sayangnya arena bermain tidak terawat baik. Ayunan dan jungkat-jungkit yang disediakan pengelola tidak bisa dipakai lagi. Hanya permainan tangga panjat saja yang masih bisa dipakai dan terlihat dikerumuni sekelompok anak-anak.
Bagi orang dewasa terdapat canopy trail. Fasilitas ini masih baru dan berfungsi baik. Saya melihat sekelompok anak baru gede sedang menguji nyali. Bergelantungan pada seutas tambang dan jembatan dari kayu.
Di area bermain ini terdapat juga beberapa gazebo dan meja-meja taman untuk rehat. Meski kondisinya sudah memprihatinkan, masih dibilang layak untuk dipakai. Tahura Gunung Kunci buka setiap hari mulai pukul 08.00-17.00 WIB.
Menurut keterangan resmi, benteng Gunung Kunci dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum. Pembangunan berlangsung dari tahun 1914 hingga 1917, dan diresmikan pada tahun 1918.
Secara keseluruhan, benteng ini memiliki luas 2600 meter persegi. Di dalam benteng terdapat goa atau bunker-bunker seluas 450 meter persegi. Benteng tersebut terbagi dalam tiga bagian, lantai 1 diperuntukkan bagi ruang prajurit, lantai 2 ruang perwira, dan lantai 3 sebagai benteng pengawas atau pertahanan.
Goa Gunung Kunci sebenarnya bukan satu-satunya benteng pertahanan yang dibuat Belanda di Sumedang. Setidaknya Belanda membuat 4 benteng pertahanan yang mengelilingi Sumedang, yakni di Pasir Bilik, Gunung Gadung, Gunung Palasari dan Gunung Kunci. Dari ke empat benteng tersebut, Gunung Kunci merupakan salah satu benteng yang masih terlihat utuh.
Konon, Belanda membangun benteng pertahanan untuk mengawasi kegiatan pemerintahan pribumi. Terlihat dari posisi benteng Gunung Kunci yang langsung menghadap ke arah alun-alun Sumedang sebagai jantung pemerintahan kala itu. Jaraknya tak lebih dari 1 km, masih dalam jangkauan jarak tembak meriam.
Dalam catatan sejarah, benteng Gunung Kunci disebut Pandjoenan. Namun masyarakat sekitar mengenalnya sebagai Gunung Kunci. Mungkin merujuk pada simbol kunci dan tulisan G. Kuntji pada muka goa.
Di masyarakat Sumedang beredar beberapa versi tentang pembangunan Gunung Kunci. Salah satu versi menyebutkan tempat ini sebenarnya bukanlah sebuah bukit. Melainkan benteng pertahanan yang dikamuflasekan menjadi bukit. Dimana bangunan benteng yang berdiri kokoh ditimbun dengan tanah. Di atas tanah tersebut ditanam pohon pinus sehingga orang mengira benteng pertahanan tersebut adalah sebuah bukit.
Pada masa kedatangan Jepang, Gunung Kunci dibombardir. Sehingga beberapa bagian benteng luluh lantak dan menyisakan puing-puing besar. Namun ada juga versi menyebutkan bahwa benteng tersebut sengaja diledakan oleh Belanda, sebelum mereka meninggalkan Indonesia. Apa alasannya, hanya Belanda dan Tuhan yang tahu.