Madu hutan atau madu yang dihasilkan dari lebah liar dianggap memiliki kualitas yang lebih baik. Relatif bebas dari cemaran-cemaran pestisida. Tidak seperti madu hasil ternak, biasanya terdapat di lingkungan pertanian yang tercemar dengan berbagai racun dan obat.
Ketika permintaan semakin tinggi, persoalan pun datang. Madu lebah liar banyak diburu. Timbul masalah lingkungan baru. Dimana proses perburuan akan menekan populasi lebah liar.
Padahal fungsi lebah dalam ekosistem hutan sangatlah penting. Banyak jenis tanaman yang bergantung pada lebah untuk proses penyerbukannya. Dengan berkurangnya populasi lebah, kelestarian tanaman hutan akan terancam.
Alam dan manusia harusnya bisa hidup bersinergi dan saling menguntungkan. Setidaknya hal tersebut diyakini Eman Sulaeman, Ketua Umum Koperasi Hanjuang, ketika ditemui di Bogor Organic Fair. Dia berpendapat, mengambil madu di hutan tidak harus dengan merusak keseimbangan alam.
Eman bekerja mendampingi masyarakat sekitar hutan di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Dimana berburu madu hutan sudah menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat sejak lama. Para pemburu masuk ke hutan-hutan dan mengambil sarang lebah.
Kebanyakan dari mereka, memanen madu dengan mengambil semua sarangnya. Termasuk larva lebah yang ada dalam sarang tersebut. Hal ini tentunya mengganggu regenerasi lebah liar.
Melihat fenomena itu, Eman bersama rekan-rekannya berinisiatif memberikan pendidikan pada para pemburu madu agar bisa menerapkan panen madu lestari. Prinsipnya, bagaimana agar madu bisa dipanen namun lebah hutan tetap lestari.
Letak permasalahannya ada pada kebiasaan memanen. Bila awalnya masyarakat mengambil sarang secara keseluruhan. Kini, hanya sarang bagian atas yang diambil. Sarang bagian atas merupakan tempat lebah menyimpan madunya. Sedangkan pada bagian bawah, biasanya lebah menyimpan larva (calon lebah).
Memang kelihatannya, si pemanen mendapatkan lebih sedikit hasil buruan. Namun dalam jangka panjang akan didapat madu yang jauh lebih banyak. Secara perbandingan, lebah yang sarangnya diambil semuanya baru bisa membuat sarang siap panen setelah 8-10 bulan. Padahal bila sarang bagian bawah disisakan, hanya membutuhkan waktu 3-5 bulan, sarang sudah bisa dipanen kembali.
Keuntungan lain, si pemanen bisa menandai sarang-sarang lebah yang telah dipanen. Sehingga pada jangka waktu tertentu siap untuk didatangi dan diambil madunya kembali. Bila ingin hasil lebih melimpah, si pemburu harus menjaga kelestarian tanaman-tanaman di sekitar sarang lebah berada.
Eman tidak bekerja sendirian. Ia menjalin kerjasama Jaringan Madu Hutan Indonesia (JMHI), sebuah organisasi yang fokus pada pengembangan madu hutan. JMHI memiliki jaringan kerja mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sumbawa hingga ke Sulawesi.
JMHI tidak hanya berkutat pada persoalan produksi semata. Organisasi ini juga membantu anggotanya dalam hal pengolahan pasca panen dan pemasaran. Jejaring ini memastikan bahwa produk anggotanya berkualitas tinggi dan diproduksi dengan cara-cara berkelanjutan.
Dibawah bendera Koperasi Hanjuang, Eman memasarkan produk madu hutan masyarakat Ujung Kulon dengan merek Odeng. “Masyarakat menyebut, lebah Apis dorsata dengan sebutan Odeng,” tuturnya menjelaskan asal-usulnya. Apis dorsatadalah nama ilmiah untuk lebah penghasil madu hutan -red.
Eman ingin menegaskan bahwa produk madu masyarakat Ujung Kulon, tidak hanya berkualitas, melainkan juga berwawasan lingkungan. Produksi madu hutan lestari tidak hanya menguntungkan produsennya, tapi juga masyarakat luas.
Konsumen yang bijak harusnya bisa memberikan apresiasi pada produk-produk seperti ini. Di sisi lain juga, masyarakat yang peduli dengan kelestarian hutan bisa mendapatkan insentif lebih.