Sudah seminggu belakangan, kedua anak saya Pelita dan Bintang, mendirikan tenda pemberian kakak sepupunya di teras rumah. Nyaris setiap hari mereka berkemah ria dengan pasukan bonekanya yang seabrek. Mungkin tak tahan dengan rencana ayahnya yang menjanjikan camping keluarga saat liburan sekolah tiba.
Jum’at 12 Juni, saatnya bagi rapor untuk si cikal. Seperti yang telah dijanjikan, besoknya si Ayah mengajak kami sekeluarga camping ke Puncak. Beberapa minggu sebelumnya, kami googling ke sana ke mari mencari tempat yang cocok. Pilihan jatuh ke bumi Perkemahan Mandalawangi di Cibodas.
Kami tidak berangkat sendiri. Dua minggu sebelumnya ketika ada pertemuan keluarga, saya mengutarakan rencana camping. Gayung bersambut, rupanya banyak juga yang tertarik dan mau ikut. Jadilah acara camping keluarga yang cukup besar. Ada keluarga dari Sumedang, Bandung, Bekasi dan Cianjur. Kami pun segera menyusun rencana, siapa membawa apa. Bahkan keluarga di Cianjur sampai menyempatkan survei ke lokasi.
Cibodas terletak di Kabupaten Cianjur. Dari Jakarta bisa ditempuh lewat puncak, dengan jarak sekitar 80 km. Lama perjalanan tidak bisa diprediksi. Apalagi di saat-saat akhir pekan bertepatan dengan liburan sekolah. Kami memutuskan berangkat dari rumah di Tangerang sehabis sholat subuh. Niat tinggal niat, pas waktunya berangkat ada saja tetek bengek yang lupa disiapkan. Waktu keberangkatan pun jadi molor hingga jam 6 pagi.
Alhamdulillah, jalanan Tangerang-Bogor lancar jaya, pukul 7 pagi lebih sedikit kami telah sampai di Bogor. Namun begitu keluar di pintu tol Ciawi yang mengarah ke Puncak kendaraan sudah menumpuk. Jalan mulai tersendat, kendaraan bergeser semeter demi semeter. Alhasil kami baru tiba di Cibodas sekitar pukul 11 siang. Padahal kami semua belum mandi. Karena rencananya kami akan mandi pagi di lokasi.
Posisi Bumi Perkemahan Mandalawangi berdampingan dengan kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dari gerbang komplek wisata Cibodas, bila belok kanan ke Kebun Raya Cibodas, Bumi perkemahan mengambil arah lurus. Ketika kami tiba di sana lapangan parkir sudah penuh. Akhirnya kami parkir di sekitar pasar, agak jauh dari gerbang masuk bumi perkemahan.
Bumi perkemahan mandalawangi berstatus taman wisata alam, salah satu hutan konservasi yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Pengelolaannya berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sedangkan pelaksana teknisnya, sepertinya memberdayakan masyarakat setempat.
Tiket masuk bumi perkemahan Mandalawangi cukup terjangkau. Tarif per pengunjung tanpa menginap Rp. 11.000 (weekdays) dan Rp. 13.500 (weekend). Sedangkan untuk pengunjung yang berkemah atau menginap dikenakan tarif Rp. 22.500 (weekdays) dan Rp. 27.500 (weekend).
Saat kami tiba ternyata tenda belum terpasang. Kami pun menunggu si tukang tenda datang. Untuk memanfaatkan waktu kami berjalan-jalan sambil mencari lokasi yang cocok. Ternyata di lokasi sudah banyak tenda didirikan. Kami pun harus memilih lokasi yang masih kosong. Pilihan jatuh pada blok Malabar, posisinya agak jauh dari pintu gerbang. Si Ayah meletakkan barang bawaan di blok tersebut. Sementara anak-anak sudah mulai berlarian ke hutan cemara.
Tak lama kemudian tenda datang, dengan cekatan tukang tenda memasangnya. Hanya beberapa menit saja, 6 tenda pesanan kami sudah berdiri dan siap digunakan. Sambil menunggu keluarga lain tiba, kami mulai berbenah dan mengatur posisi.
Sebagai informasi, di sekitar Cibodas banyak yang menawarkan jasa penyewaan tenda dan alat-alat camping. Satu buah tenda dome kapasitas 4 orang dihargai Rp.70.000. Sedangkan untuk peralatan lain seperti penyewaan kasur Rp. 40.000, matras Rp.15.000 dan sleeping bag Rp. 20.000. Bagi keluarga yang anggotanya banyak bisa menyewa tenda dome kapasitas 6-8 orang seharga Rp. 100.000.
Lelah berlarian di hutan cemara, si Bintang anak kami yang paling kecil, merengek minta berenang di sungai. Kebetulan pasukan bocah lain sudah pada berdatangan. Saya pun menggembala bocah-bocah ke sungai kecil berair jernih yang membelah lokasi camping. Habis berbasah-basah ria, semua bocah digiring ke kamar mandi yang tersedia di sekitar lokasi untuk membersihkan badan. Secara bergiliran, kami pun mengantri untuk mandi.
Main sudah, mandi sudah, lapar mulai menyerang. Sebenarnya saat itu matahari belum benar-benar tenggelam. Tapi rasa lapar lebih menguasai, akhirnya jam makan malam digeser lebih awal. Para kru mulai menyiapkan kompor dan bahan masakan. Kebetulan kami membawa 3 buah kompor gas kecil. Cukuplah untuk melayani seluruh anggota camping keluarga.
Tak terasa, berbagai macam makanan diolah, mulai dari mie instan (makanan pokok saat kepepet), telor rebus, nasi liwet, sosis bakar, ikan bakar, kopi, teh dan wedang jahe. Saat makanan siap, hari sudah mulai gelap dan makan malam pun dimulai. Para kurcaci kecil mendapat jatah makanan pertama dan langsung dilahap habis.
Bersamaan dengan itu, api unggun yang telah dipesan sebelumnya mulai dinyalakan. Semua bocah tertuju pada setumpuk kayu bakar. Kami membiarkan mereka bermain api. Di lokasi kayu bakar untuk api unggun tersedia seharga Rp. 50.000 per ikat.
Sementara itu, bapak-bapak dan emak-emaknya mulai menikmati nasi liwet dan bercengkrama hingga kantuk menyerang. Lalu beres-beres mencari posisi tidur pun dimulai. Para bocah satu per satu mulai meninggalkan api unggun yang sudah meredup dan masuk ke tenda induknya masing-masing. Maklum, saat ini sudah masuk musim kemarau dimana udara sangat dingin menusuk tulang.
Hari kedua, kami gunakan untuk menelusuri area danau. Di sana tersedia perahu kayu sewaan. Harga sewa perahu Rp. 25.000 untuk satu kali keliling danau. Kapasitas perahu cukup untuk empat orang dewasa. Perahu sewaan ini tidak dilengkapi nakhoda, kita harus mengemudikan dan mendayung sendiri. Masing-masing penumpang diberikan satu buah dayung.
Ternyata mendayung perahu tidak semudah yang dibayangkan. Pertama kali perahu berputar-putar tak tentu arah. Susah sekali mengharmoniskan ayunan sampan, apalagi bersama dua bocah kecil. Akhirnya, diputuskan semua dayung diistirahatkan. Hanya si ayah yang boleh mengayuh dayung. Dan, perahu pun bisa melaju dengan lebih terarah.
Danau di Mandalawangi tidak terlalu besar. Dasar danau dipenuhi lumpur tebal dan tumbuhan air. Mungkin agak berbahaya untuk kegiatan berenang. Karena tumbuhan air bisa menjerat kaki-kaki kita. Hanya dengan 15 menit saja, perahu kami sudah mengitari seluruh danau yang berbentuk U itu.
Permainan lain yang sempat kami coba adalah flying fox. Jalurnya melintang di atas permukaan danau. Talinya terbuat dari baja, sepertinya cukup aman. Taksiran saya panjang lintasannya sekitar 100 meter. Tarif permainan flying fox Rp. 25.000 per satu kali. Dewasa dan anak-anak dikenakan tarif yang sama. Hanya saja untuk anak kecil bisa ditandem dengan orang dewasa.
Di pinggir danau terdapat bangunan seperti rumah, dengan logo negara Korea Selatan di depannya. Konon rumah itu merupakan hasil tukar kebudayaan antara kebudayaan Sunda dan Korea. Rumah itu dibiarkan kosong dan difungsikan sebagai sarana evakuasi untuk para pengunjung yang berkemah. Mungkin sebagai tempat berlindung dari badai, hujan besar dan keadaan darurat lain. Setelah puas berkeliling kami rehat sebentar, tak lupa berfoto ria.
Ini sebenarnya kali kedua saya berkunjung ke Bumi Perkemahan Mandalawangi. Saya suka tempat ini, tempat camping keluarga yang ramah anak. Tidak terlalu ‘wildlife’, tetapi masih bernuansa alam bebas. Enaknya tempat ini tidak dijejali berbagai fasilitas komersial. Anak-anak pun bisa fokus bermain di alam terbuka, bukan naik wahana ini atau wahana itu. Dari tepi danau Mandalawangi saya menerawang, akankah tempat wisata seperti ini tetap lestari?
mantap bang