Ini sebenarnya bukan buku baru, diterbitkan tahun 2009. Ketika saya mencari-cari literatur tentang sawit, seorang teman mengirimkan buku ini. Menjadi istimewa, karena saya ternyata mengenal pengarangnya. Bahkan saya pernah menemaninya blusukan di belantara hutan sawit Sumatera Utara pada tahun 2010. Dan, waktu saya tidak tahu ia telah menulis buku ini.
Buku berjudul “Agrofuels, big profits, ruined lives and ecological destruction”, bercerita tentang bahan bakar nabati yang diekstrak dari produk-produk pertanian. Pengarangnya, Francois Houtart, lebih memilih “agrofuels” dibanding istilah yang sering dipakai pada umumnya yakni “biofuels”.
Buku ini ditulis sebagai sebuah kritik. Agrofuels yang menjadi sebuah harapan sebagai energi ramah lingkungan, ternyata menyimpan permasalahan besar yang patut diperhitungkan juga. Suatu solusi yang dianggap sebagai green solution, ternyata tidak bisa dikatakan benar-benar green.
Houtart mengutip pendapat Profesor Bautista Vidal, seorang guru besar dari Universitas Brasilia, Brasil, yang menggambarkan betapa teknologi agrofuels merupakan harapan negara-negara selatan untuk menjawab persoalan krisis iklim dan energi. Vidal mengatakan, “Agrofuels diturunkan dari biomasa yang dihasilkan dari radiasi matahari, secara prinsip terbarukan.”
Pernyataan Vidal bukan tanpa alasan. Menurut hasil pengamatannya, setiap hari matahari memproduksi energi yang setara dengan seluruh cadangan energi fosil yang ada. Ini amunisi bagi negara-negara selatan yang berlimpah sinar matahari dan memiliki lahan luas. Agrofuels dianggap sebagai harapan masa depan.
Agrofuels juga dipandang sebagai jalan keluar dari krisis iklim. Mengingat fakta bahwa pembakaran mesin yang menggunakan agrofuels dari jenis agrodiesel menghasilkan 60% emisi lebih rendah dari bahan bakar fosil, sedangkan untuk bioetanol 70% lebih rendah. Emisi dari yang dibakar dalam mesin akan diserap lagi saat bahan baku ditanaman. Tidak seperti fosil, sekali dikeluarkan dari perut bumi mustahil terserap lagi dalam proses produksinya.
Dunia pun berlomba mempromosikannya. Brasil merupakan penghasil agrofuels terbesar di Amerika Selatan. Mereka memproduksi etanol dari tanaman tebu dan jagung. Hutan-hutan alam di sana dikonversi besar-besaran menjadi ladang raksasa.
Di Afrika dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diproduksi besar-besaran minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.
Ditengah tumbuhnya harapan akan agrofuels, Houtart memberikan catatan bahwa barang ini hanyalah sebuah solusi parsial. Pertumbuhannya yang pesat malah mendatangkan ancaman lebih parah pada krisis energi dan iklim dewasa ini. Bila dilihat sepotong-sepotong, emisinya seperti lebih rendah daripada bahan bakar fosil.
Perhitungan itu jelas keliru. Fakta lain menunjukkan selama proses pembuatan agrofuels mulai dari pra-produksi hingga distribusi menghasilkan emisi yang jauh lebih besar. Pembukaan lahan jelas menjadi salah satunya. Berapa besar jumlah hutan hujan tropis yang hilang saat pembukaan lahan? Padahal hutan tropis merupakan cadangan karbon dunia yang paling besar.
Dampak negatif lain pembangunan agrofuels tampak pada tata air, tanah dan keanekaragaman hayati. Tanaman-tanaman penghasil agrofuels membutuhkan air yang sangat banyak. Sebagai contoh, pembuatan 1 liter etanol dari jagung membutuhkan 3.600 liter air. Padahal air tersebut diperlukan juga untuk kepentingan lainnya.
Ladang-ladang raksasa tanaman agrofuels biasanya ditanam secara monokultur dengan pemupukan dan pengobatan yang intensif. Selama produksinya, berton-ton racun-racun kimia dan pupuk sintetis ditumpahkan ke ladang-ladang tersebut. Jelas hal ini akan merusak kondisi tanah pertanian secara masif.
Tak hanya itu, keanekaragaman hayati pun ikut terancam. Sebagai contoh, pembukaan lahan sawit di Indonesia telah mengancam kehidupan orang utan. Padahal satwa tersebut merupakan indikator kualitas lingkungan secara umum.
Disamping sejumlah permasalahan ekologis, pembukaan perkebunan agrofuels yang biasanya dilakukan korporasi besar memicu konflik dengan penduduk lokal. Kehidupan masyarakat adat yang tergantung pada hutan yang paling terganggu.
Sebagai contoh, suku Dayak di Kalimantan yang tergantung pada hasil hutan seperti madu, buah-buahan, kayu dan obat-obatan menjadi terdesak akibat hutan mereka dikonversi menjadi ladang sawit (halaman 119). Secara umum, pendapatan mereka turun drastis dan turun naik mengikuti harga sawit dunia.
Contoh kontras terjadi di Brasil. Sejak tahun 1970-an, sebanyak 2,5 juta orang di Parana telah dipaksa pindah karena pembukaan ladang kedelai. Sementara itu, 300.000 orang di Rio Grande do Sul harus mengungsi dengan alasan yang sama.
Buku ini tidak hanya bercerita mengenai kengerian agrofuels. Tetapi juga menunjukkan alternatif lain yang lebih aman. Houtart menunjukkan sejumlah alternatif seperti gerakan pengurangan bahan bakar fosil, energi hidroelektrik, sel surya, energi angin, panas bumi, energi hidrogen (fuel cells), energi panas bumi dan energi sampah.
Buku ini sangat cocok bagi siapa saja yang ingin melihat agrofuels secara kritis. Fakta yang dikemukakan cukup detail, meski beberapa diantaranya perlu diklarifikasi.
Akhir kata, manusia harus selalu berusaha menemukan yang terbaik dari yang paling baik demi kehidupan mendatang.